Thursday 16 May 2013

ILMU KALAM MODERN (Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Sayyid Ahmad Khan)

Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Sebagai produk pemikiran manusia,  wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam, seperti halnya aliran pemikiran keislaman lainnya memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Diskursus ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang banyak disorot.

Berbincang kelemahan ilmu kalam paling tidak terdapat tiga hal yang pelu di koreksi, diantaranya  kritik epistemologi yang berkisar pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an.

Selain aspek epistemologi, kritikan juga jatuh pada aspek Ontologi ilmu kalam yang hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Sedangkan kritik aspek Askiologi menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran yang tidak menyentuh pada ranah empiris.

Dibawah ini akan di paparkan tentang tawaran kalam modern berseta tokoh-tokohnya.

B.       Muhammad Abduh

1.       Riwayat Singkat Muhammad Abduh

Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1]  Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan ini.[2]

Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan …”)[3]

Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[4]

Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.

Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[5]

Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa [6] pada tahun 1884.

Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah.[7] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.

2.      Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

a.        Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu

Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[8]

·           Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.

·           Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.

Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.

Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[9]

·           Tuhan dan sifat-sifat-Nya;

·            Keberadaan hidup di akhirat;

·           Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;

·            Kewajiban manusia mengenal Tuhan;

·           Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;

·           Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[10]

·           Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;

·           Kesalahan dalam menggunakan penalaran.

Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.

b.        Kebebasan Manusia dan Fatalisme

Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[11]

c.         Sifat-sifat Tuhan

Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[12]

d.        Kehendak Mutlah Tuhan

Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.

Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[13]

e.         Keadilan Tuhan

Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.[14]

f.          Antropomorfisme

Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[15]

g.        Melihat Tuhan

Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[16]

h.        Perbuatan Tuhan

Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[17]

C.      Muhammad Iqbal

1.      Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]

Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[19]

Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[20]

Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[21]

Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[22]

Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[23]

2.      Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[24]

Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[25]

Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.

Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[26]

·           Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;

·           Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;

·           Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.

a.             Hakikat Teologi

Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[27] Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[28]

b.              Pembuktian Tuhan

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).[29]

c.              Jati diri manusia

Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[30]

d.              Dosa

Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.[31]

e.         Surga dan Neraka

Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[32]

D.      Sayyid Ahmad Khan

1.      Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan

Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.[33] Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[34] Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.[35] Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.[36] Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[37]

Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi beliau menolaknya.[38]

Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad[39] dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin menuntut ilmu.[40] Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[41]

Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).[42] Hingga akhir ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India [43]dan meninggal dunia pada tahun 1989.[44]

2.      Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan

Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.[45]

Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).

Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[46]

 Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, beliau tidak mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist adalah karena Hadist berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[47]

Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[48]

E.       KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banyak pendapat mengenai ilmu kalam modern. Diantaranya pendapat Muhammad Abduh yaitu mendasarkan ilmu kalam modern kepada akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.

Sama halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berbeda pendapat dengan keduanya karena ia menolak pemikiran tersebut. Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.

Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993

Ahmad, Muhammad,  Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Azzam, Abdul Wahab, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, Bandung: Pusataka,1985

Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali press,1995

Hasan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara: Surabaya, 2004

Iqbal, Muhammad, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, New Delhi: barVan, 1981

Nasution, Harun, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press, 1987

-------------------, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006

Shihab, Quraish, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994

[1] Quraish shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 12

[2] Ibid

[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 212

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hal. 259

[8] Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam…, hal. 213

[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 214

[10] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 149

[11] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 215

[12]Harun Nasution, Muhammad abduh…, hal. 66

[13] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, ( Jakarta: UI Press, 1987), hal. 57

[14] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216

[15] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216

[16] Ibid, hal. 216-217

[17] Ibid,  hal. 217.

[18] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17

[19] Ibid

[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur…, hal. 267-268

[21] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220

[22]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190

[23] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221

[24] Ibid

[25] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92

[26] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221

[27] Muhammad iqbal, the Recontraction…., hal. 154

[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 222

[29] Ibid, hal. 223.

[30] Azzam, Iqbal...hal. 56

[31] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 131-132

[32] Ibid, hal. 133-134

[33] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 217

[34] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257

[35] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217

[36] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 323-325

[37] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66

[38]  Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217-218

[39] Ibid

[40] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., halm. 258

[41] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218

[42] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258

[43] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218

[44] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257

[45] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218

[46] Ibid, hal. 218-219

[47] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66

[48] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hlm 219

1 comment: